Tuesday, November 28, 2006

Pada saat menunggu,
kita tidak suka melihat tangga,
atau apapun yang berbau proses.

Kesempurnaan, ketepatan,
yang dibalut dengan ingin yang tak muluk.
Berilah waktu, berdamailah dengan masa lalu kita,
maafkan sakit hatimu karnaku.

Aku mencintaimu,
sayangnya itu saja tidak cukup.
Aku berusaha,
sayangnya kamu tidak mau berbicara.

Monday, November 27, 2006

Internet Freak

Bandung! What a city....!! Bukan cuma makanan yang membuat saya jatuh cinta sangat dengan kota kembang yang nyaris jadi kota hujan akhir-akhir ini. Tapi kecanggihan wi-fi gratisnya itu, ya ampun! You can find it almost everywhere. Hidup Melsa!

Wednesday, November 22, 2006

17:54 @ BIP

Selalu ada harapan di tiap pagi yang kujelang sambil menepis kantuk. Semalam aku sudah putus asa. Aku ingin berhenti merasa, tapi kejutan besar selalu ada tiap saat. Bahkan di saat yang paling mengenaskan sekalipun. Menjadi manusia yang paling sempurna sekalipun, sangat bisa jauh dari kata bahagia. Dan tolong, kalau bisa memilih, bahagia lah yang kucari dalam hidup ini.
Bandung, 23:09 yang masih bercokol pada tanggal 21 November 2006.

Seharian sudah aku berharap, entah pada apa. Mungkin pada renik hujan yang mungkin mampir di tepian kaca jendela mobilku. Bisa juga sendja yang jatuh lebih cepat hari ini. Seperti ada sesuatu yang kutunggu.

Mengutip kata sukses yang diperbincangkan Dephii dan Sita, hari ini cukup menyenangkan. Perkembangan yang baik untuk distribusi Sub Rosa. Harga konsinyasi untuk QB Kemang dan MP sudah mencapai kata sepakat, tinggal menyiapkan surat perjanjian saja. Sub Rosa Poems pun akhirnya sudah merambah kota Bandung, dengan langkah awal di ZOE, Tobucil dan Potluck.

Perbincangan di akhir tengah hari cukup membuat saya sedikit terpingkal. Coba bayangkan dua orang dosen, yang satu pengajar kelas hukum (Dephii) dan yang satu kelas jurnalistik. Keduanya berada di satu mobil dengan dua orang penyiar, yang satu dari Female (Sita) dan yang satu dari OZ (Deehan). Gaduh dan bising di kubu belakang, dengan kegiatan menyimak serta menutup perbincangan dengan konklusi-konklusi yang sangat teoritis. What a lovely conversation if you know what I mean.

Beranjak malam, saya menemukan banyak pengharapan yang pupus. Bahwa warna abu-abu itu nyata, langit biru ternodai asap, air mata bisa tumpah begitu saja, dan manusia sungguh berubah walau dalam hitungan hari.

Harapan seperti sebuah busur panah. Melaju kencang membawamu menyibak udara yang mati, atau menjatuhkanmu ke belakang dan hanya teringat pada mimpi. Membuatmu kuat dan tahan banting, atau menjadikanmu anjing yang hanya jago kandang dan mempunyai buntut masuk ke dalam.

Hari ini saya harus memilih. Tapi saya merasa semua sudah dipilihkan untuk saya. Ujung jari tangan saya sampai pilu, sakit sekali rasanya.

Catatan Tiga

Bicara tentang ikhlas membuatku kembali pada frame terakhir pada pembabakan buku ku, Sub Rosa. Ikhlas untuk selalu hadir walau dibuang, ikhlas untuk selalu bicara walau didiamkan, ikhlas untuk selalu mengasihi walau disakiti, dan mungkin...pada akhirnya, mari kita bicara mengenai ikhlas untuk merelakan. Untuk membiarkan dia statis seperti pada awalnya, untuk membiarkan dia konsisten pada kesalahannya, untuk membiarkan dia menolak cintamu walau jelas-jelas sudah disodorkan. Cinta dan ikhlas, akrab nian dengan menghargai keputusan orang lain. Sesalah apapun itu. Kenapa? Karna itu adalah hidup mereka, walau sudah bersinggungan denganmu. Coba kau tanya, lalu dia kan berkata ”siapa suruh kau jatuh cinta padaku?”.

Catatan Dua

Terkadang diam membuatmu berpikir. Akankah esok hadir secerah hari ini, akankah mimpi semalam terulang kembali, akankah kita mati hari ini dengan rasa sakit atau tidak. Diam yang terlalu lama membuatmu membisu. Berteriak percuma karna amarah yang tak terpantulkan kembali oleh dinding-dinding yang sudah lama kosong. Membuatmu jatuh lebih dalam dan dalam lagi. Sampai tidak ada lagi yang dapat menyelamatkanmu. Dan kamu pun tidak perduli apa arti kata selamat, atau keinginan itu sudah lama hilang.

Catatan Satu

Teringat artikel tahun 2005. Anastasia Tiara, salah seorang calon donor mata. Rasa-rasanya saat ini saya juga ingin menyumbangkan telinga dan hati kepada mereka yang membutuhkan. Karena semua yang terdengar berbisik begitu kencang mendengung seperti kawanan lebah yang siap menyengat sampai gendang telinga. Karena semua yang dirasa terlalu sakit sampai-sampai seluruh tubuh mengejang, melampaui batasnya, dan meninggalkan saya begitu imun. Semua yang tidak membunuh menjadikan kita lebih kuat. Thank you for teaching me that.

Membuatku sadar apakah hidup ini selalu berkisar tentang pengorbanan. Tentang siapa yang harus membahagiakan siapa, walau mereka tidak turut bahagia. Dan mungkin ini saatnya aku harus berbuat baik.

Monday, November 20, 2006

Kalau memang janji lebih penting dari rasa yang spontan dan begitu alami, kalau memang kata terlambat harus berlaku selamanya sampai nanti benar-benar kehilangan dalam wujud asli, mungkin saya benar-benar tidak ingin hidup. Tidak ingin dilahirkan dan terutama tidak ingin jatuh cinta. Karna cinta seharusnya tidak mengenal kata terlambat.

Saya yang jatuh cinta dengan rasa,
tidak lagi pakai mata pakai mulut pakai logika,
saat terbentur pun saya sudah lupa mereka itu semua ada dimana.

Thursday, November 09, 2006

Terkadang cuplikan di bawah ini akan terlihat klise, tapi pada saat yang tepat, orang yang tepat, semua akan terasa begitu mengena.

Mencintai..bukanlah bagaimana kamu melupakan..
Melainkan bagaimana kamu memaafkan (tolong, maafkan aku!)
Bukanlah bagaimana kamu mendengarkan..
Melainkan bagaimana kamu mengerti (aku harap kamu mengerti bhw aku takut)
Bukanlah apa yang kamu lihat..
Melainkan apa yang kamu rasakan.. (aku tahu, maafkan aku tlah menyakitimu)
Bukanlah bagaimana kamu melepaskan..
Melainkan bagaimana kamu bertahan (diam dan lihatlah, telah kucoba ubah kemarau jadi penghujan)

Lebih baik menunggu orang yang kamu inginkan

Daripada berjalan bersama orang ‘yang tersedia’ (tidak ada substitusi dari kamu, yakini itu!)
Lebih baik menunggu orang yang kamu cintai
Daripada memaksa dengan yang ada disekelilingmu (aku tunggu....tanpa batasan waktu)
Lebih baik menunggu orang yang tepat..
Karena hidup ini terlalu singkat untuk dibuang (kamulah arti hidup itu sendiri) hanya dengan ‘seseorang’
Kadangkala orang yang paling kamu cintai..
Adalah orang yang paling menyakiti hatimu (ini benar...jadi kamu percaya kan?)

Kamu pasti tahu, yang mana cuplikan, yang mana kalimatku. Walau disini, kau tahu bagaimana rasaku.

Tuesday, November 07, 2006

Terkadang jarak itu malah bisa membuai. Membuat kita seakan terlindungi dan menikmati yang enak-enak saja. Kerap kali aku perhatikan, menjadi orang terdekat dari seorang lainnya akan membawa kita pada keeksklusifan rasa. Kita menjadi yang paling disayang, diperhatikan, dicemburui, tapi juga paling disemprot bila mood sedang tidak baik. Saat kita membuat orang tersebut kecewa, orang tersebut bisa bersama kita tapi tak lagi tertawa dengan tarikan nafas yang sama. Orang tersebut tertawa lepas dengan teman-temannya, bercanda dan bahkan memaki pelan. Tapi dengan kita kembali ada jarak. Itulah yang kusebut pengorbanan, harga yang harus kubayar. Dan adalah nikmat nyatanya...pada akhirnya.

Pada saat bangun tidur,
hanya dia yang tertera di rangka otak,
membias dalam gelombang fikir.

Saat mengantuk,
saat mabuk alkohol,
kejujuran selalu tertata dalam sumpah serapah.

Kita menjadi jujur,
dan aku tahu saat itu,
saat ini...

kamu masih mencintaiku.

Thursday, November 02, 2006

Kemarin aku menonton film yang sangat menyentuh. Judulnya dalam bahasa Inggris adalah The Tiger and The Snow. Percakapan bahasa Itali rupanya tidak menjadi kendala, walau agak sulit membaca kalimat-kalimat puitis berbahasa Inggris. Film tersebut mengenai seorang pria penulis puisi yang sangat romantis. Dia berjuang untuk bisa sampai ke Baghdad demi merawat seorang perempuan yang sangat dicintainya. Tetapi cerita lain yang terselip di film itu yang membuatku terpana.

Diceritakan ada seorang suami yang mendapat kabar isterinya terkena suatu penyakit. Entah chicken pox atau penyakit kulit lainnya yang akan membuat isterinya tidak tampil cantik lagi selama-lamanya. Pada hari yang sama, sang suami berkata..."mataku sakit, perih..." dan kemudian di hari berikutnya dia berkata "mataku buta sekarang,". Belasan tahun berlalu, hingga isterinya meninggal. Di hari berikutnya sang suami membuka mata. Rupanya selama ini dia hanya berpura-pura buta agar sang isteri tidak malu dengan penampilannya sendiri.